Tentu Anda pernah mendengar bahwa penyebab dominan kecelakaan kerja adalah kesalahan manusia (human error) dan pekerja menjadi sumber penyebabnya. Benarkah? Dilansir dari portalgaruda.org, Tulus Winarsunu dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Keselamatan Kerja”menyatakan, human error dapat menyebabkan 80% hingga 90% kecelakaan kerja.
Dengan menganggap manusia (pekerja) sebagai akar masalah, tidak sedikit pemimpin yang memberlakukan prosedur kerja yang ketat, sehingga pekerja harus mengikuti aturan tersebut dan tidak boleh melanggarnya. Bila satu kelalaian terjadi, inilah yang dianggap sebagai sebuah unsafe act dan 'manusia' dianggap sebagai akar penyebabnya.
Dalam hal ini terlihat bahwa faktor manusia memang memegang peranan penting dalam sistem keselamatan dan juga sebaliknya, dalam menentukan terjadinya kecelakaan kerja. Namun benarkah kecelakaan kerja yang terjadi karena human error disebabkan mutlak oleh individu (pekerja) saja?
ada dasarnya terdapat klasifikasi human error yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab kesalahan. Berikut klasifikasi dari human error secara umum:
1. Induced Human Error System
Terjadinya kesalahan yang dilakukan pekerja diakibatkan mekanisme suatu sistem. Misalnya, peraturan dari manajemen kurang ketat atau manajemen kurang menerapkan kedisiplinan.
2. Induced Human Error Design
Perancangan atau desain sistem kerja yang kurang baik memungkinkan pekerja melakukan kesalahan. Sesuai dengan kaidah atau hukum Murphy (Murphy Law), bila peralatan dirancang tidak sesuai dengan pengguna (dalam hal ergonomis), maka terdapat kemungkinan akan terjadi ketidaksesuaian dalam pemakaian peralatan tersebut, yang berpotensi menimbulkan human error.
3. Pure Human Error
Kesalahan murni berasal dari pekerja itu sendiri, misalnya kurangnya pengalaman, kemampuan, dan aspek psikologis.
Sedangkan penyebab terjadinya human error mencakup beberapa faktor, di antaranya:
Faktor individu
- Tingkat keterampilan dan kompetensi yang rendah
- Pekerja mengalami kelelahan dan tidak konsentrasi saat bekerja
- Pekerja mengalami stres
- Pekerja menderita sakit atau masalah medis lainnya
Faktor pekerjaan
- Desain peralatan yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan pengguna
- Kondisi lingkungan kerja dan tata letak peralatan yang buruk
- Prosedur kerja tidak jelas
- Peralatan kerja tidak layak
- Kompleksitas pekerjaan dan kondisi yang berlebihan
- Pencahayaan kurang baik
- Tingkat kebisingan berlebihan
- Rancangan tata letak fasilitas kerja yang buruk
Faktor Manajemen
- Prosedur kerja yang buruk
- Standard Operating Procedures (SOP) yang buruk
- Pelatihan dan pengawasan yang kurang memadai
- Manajemen hanya menerapkan komunikasi satu arah
- Kurangnya koordinasi dan tanggung jawab
- Lemahnya respons bila terjadi kecelakaan kerja
- Sistem keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang buruk
- Buruknya budaya K3 di perusahaan
Human Error dan Kecelakaan Kerja: Memahami Konsep Blunt End vs Sharp End
Dalam prakteknya, human error terjadi ketika serangkaian aktivitas kerja sudah direncanakan, ternyata berjalan tidak seperti apa yang diinginkan atau diharapkan, sehingga gagal mencapai target yang sudah ditetapkan. Kegagalan ini memiliki pengaruh yang menimbulkan risiko terhadap faktor individu, pekerjaan, dan manajemen, yang imbasnya bisa berujung pada terjadinya kecelakaan kerja.
Untuk menganalisis hubungan antara human error dan kecelakaan, prinsip dasar yang digunakan sebaiknya tidak terfokus hanya pada kesalahan individu saja, tetapi pendekatan sistemnya juga harus ditelaah. Pandangan baru mengenai human error menunjukkan bahwa human error bukanlah penyebab kegagalan, ini adalah efek atau gejala masalah yang lebih kompleks. Human error otomatis terhubung ke peralatan kerja yang digunakan, tugas serta lingkungan kerja, dan human error bukanlah kesimpulan dari investigasi insiden, hal tersebut merupakan titik awal untuk perbaikan sistem secara keseluruhan.
Memahami Konsep Blunt End vs Sharp End
Apakah Anda pernah mendengar atau membaca buku Safety I dan Safety II: The Past and Future od Safety Management? Buku karya Erik Hollnagel ini memberikan pernyataan tentang "manusia yang diperlakukan seperti mesin". Dalam bukunya, Hollnagel menjelaskan bahwa manusia harus menyesuaikan aktivitas pekerjaannya berdasarkan prosedur yang berlaku dan manusia tidak diizinkan untuk melakukan variasi performa (performance variability) dari prosedur yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan pembuat prosedur (pihak manajemen) yakin bahwa prosedur yang ia rancang adalah yang paling benar, sementara yang lain salah.
Dalam hubungan human error dan kecelakaan kerja, Hollnagel memberikan analogi blunt end (sisi tumpul) dan sharp end (ujung tajam) layaknya pensil. Blunt end adalah pihak manajemen atau mereka yang tidak melakukan pekerjaan secara langsung di lapangan, namun dapat mengendalikan semua pekerjaan melalui peraturan atau prosedur yang dibuatnya. Sharp end adalah pekerja yang melakukan pekerjaan langsung di lapangan.
Adanya jurang pemisah atau ‘gap’ antara blunt end dan sharp end membuat manusia sebagai hal yang paling penting dalam suatu sistem menjadi seperti mesin. Terkadang, pihak yang berada pada blunt end tidak memahami pekerjaan secara menyeluruh yang dilaksanakan sharp end. Blunt end merancang prosedur pekerjaan sedemikian rupa yang pada kenyataannya terkadang tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh sharp end, sehingga pihak sharp end terpaksa harus melakukan penyesuaian performa agar tetap bekerja sesuai prosedur.
Adanya ‘gap’ inilah yang bisa berakibat fatal. Penyesuaian performa yang dilakukan pekerja terkadang bisa berisiko besar terjadinya kecelakaan kerja. Meskipun peluang keberhasilan sharp end (pekerja) untuk bekerja secara aman bisa lebih besar dibanding peluang terjadinya kecelakaan, namun sebagian besar orang terutama pihak manajemen masih melihat sharp end (pekerja) sebagai penyebab terjadinya kecelakaan.
Menyikapi hal ini, National Safety Council (NSC), organisasi nirlaba yang mempromosikan K3 di Amerika Serikat ini sebetulnya tidak setuju dengan porsi penyebab kecelakaan pada Heinrich, yang menitikberatkan faktor individu sebagai penyebab dominan pada human error. NSC pun memberikan persentase 88% untuk unsafe act dan 78% untuk mechanical hazard. NSC memberi angka penyebab kecelakaan yang komprehensif dan melihat kecelakaan dari beberapa penyebab dan tidak terlalu menyalahkan manusia sebagai penyebab kecelakaan.
Jadi intinya, meski human error mendominasi menjadi penyebab kecelakaan kerja, namun akar masalahnya tidak hanya bertumpu pada faktor individu (pekerja) saja. Faktor pekerjaan dan faktor manajemen perusahaan juga menjadi penyebab lain yang memengaruhi human errordalam menimbulkan kecelakaan kerja atau kegagalan lainnya.
Hindari memandang individu sebagai satu-satunya faktor penyebab terjadinya human error dan sebaiknya fokuskan untuk meningkatkan performa sistem K3 di perusahaan Anda. Pada dasarnya, human error tidak mungkin hilang sepenuhnya, namun Anda bisa mengantisipasinya agar tidak sering terjadi.
Di sinilah peran manajemen dan pekerja sangat diperlukan, mulai dari melakukan tindakan preventif untuk meminimalkan terjadinya kesalahan, mengidentifikasi kesalahan dan menyelidiki faktor penyebabnya, hingga melakukan mitigasi kesalahan untuk meminimalkan risiko dan kerugian yang dihasilkan dari kesalahan tersebut.
Pengawasan, evaluasi, serta memberikan pelatihan untuk pekerja juga sebaiknya dilakukan untuk meminimalkan human error dalam pekerjaan. Selain itu, menumbuhkan budaya K3 juga menjadi penting untuk diperhatikan untuk meminimalkan risiko cedera dan kecelakaan kerja yang disebabkan human error.
Semoga Bermanfaat, Salam safety!